Berfikir merupakan aktifitas otak , maka berfikir
akan menentukan apa tindakan kita selanjutnya, disini dijelaskan beberapa
kesalahan berfikir yang akan berefek pada tindakan kita.
Menurut Jalaluddin Rakhmat ada tujuh kesalahan
berfikir:
1. Fallacy of Dramatic Instance
Fallacy of dramatic instance berawal dari
kecendrungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation.
Yaitu, penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general
atau umum. Kerancuan berfikir semacam ini banyak terjadi dalam berbagai telaah
social. Argument yang overgeneralized ini biasanya agak sulit dipatahkan.
Karena, satu-dua kasus rujukan itu seringkali diambil dari pengalaman pribadi
seseorang (individual’s personal experience). Contoh supaya lebih memudahkan
kita memahami Fallacy of dramatic instance ini:
Joni adalah mahasiswa UGM
Dedi adalah mahasiswa UGM
Joni berperangai jelek
Jadi, dedi juga berperangai jelek
(karena keduanya mahasiswa UGM)
Kadang-kadang, overgeneralisasi terjadi dalam
pemikiran kita saat memandang seseorang, sesuatu, atau tempat. Padahal, orang
itu selalu berubah, sehingga hal yang sama tidak bisa kita terapkan pada orang
yang sama terus menerus dan selamanya.
2. Fallacy of Retrospective Determinism
Istilah yang panjang ini sebetulnya hanya untuk
menjelaskan kebiasaan orang yang menganggap masalah sosial yang sekarang
terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa
dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Determinism
selalu saja lebih memperhitungkan masa silam ketimbang masa mendatang.
Misalnya, ada sesuatu masalah sosial yang bernama
pelacuran alias prostitusi. Sebagian orang mengatakan: “ mengapa pelacuran itu
harus dilarang? Sepanjang sejarah pelacuran itu ada dan tidak bisa dibasmi.
Oleh karena itu, yang harus kita lakukan bukan menghilangkan pelacuran,
melainkan melokalisasikannya agar terhindar dari dampak-dampak yang tidak
diinginkan. Karena, sekali lagi, pelacuran itu sudah ada sepanjang sejarah.”
Dengan demikian, cara berfikir ini selalu
mengambil acuan “kembali ke belakang” atau “sistem”. Karena itu, kesalahan
berfikir ini disebut restrospective (melihat kebelakang). Determinisme
restrospektif adalah upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah
ditentukan (determined) di dalam sejarah yang telah lalu.
Contoh lainnya adalah perkara kemiskinan. Orang
yang berpendirian seperti di atas, akan mengatakan bahwa kemiskinan sudah ada
sepanjang sejarah. Dari dulu ada orang kaya dan miskin. Mengapa orang sekarang
mesti rebut-ribut memeberantas kemiskinan. Padahal, kemiskinan tidak bisa
diberantas, sudah ada sejak jaman dahulu . ini juga termasuk kesalahan berfikir
Karena selalu melihat kebelakang.
3. Post Hoc Ergo Prropter Hoc
Istilah ini berasal dari bahasa latin: post
artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergo artinya karena
itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian. Singkatnya:
sesudah itu-karena itu-oleh sebab itu. Jadi, apabila ada peristiwa yang terjadi
dalam urutan temporal, maka kita menyatakan bahwa yang pertama adalah sebab
dari yang kedua. Misalnya si X datang sesudah Y . maka X dianggap sebagai sebab
dan Y sebagai akibat. Alasannya apa? Karena, urut-urutan waktunya begitu.
Misalkan ada orangtua yang lebih mencintai seorang anak dibandingkan anak yang
lain hanya karena orangtua itu kebetulan naik pangkat atau ekonominya menjadi
menjadi lebih stabil setelah memperoleh anak kesayangannya itu. Dulu, ketika
zaman anak pertama, orangtua ini sengsara. Maklum, kehidupan berkembang. Tapi,
malangnya, yang kena getah malah anak pertama. Orangtua itu berkata: “ ini anak
membawa sial. Dulu, zaman anak ini saya sengsara. Nah, anak saya yang terakhir
ini yang membawa keberuntungan.” Lagi-lagi, itu adalah contoh post
hoc ergo propter hoc.
4. Fallacy of Misplaced Concretness
Misplaced berarti salah telak. Concretness
artinya kekonkretan. Jadi, kesalahan berfikir ini muncul karena kita
mengkonkretkan sesuatu yang pada hakikatnya abstrak. Misalnya, mengapa
orang Islam secara ekonomi dan politik lemah? Mengapa kita tidak bisa
menjalankan syariat Islam dengan baik? Lalu ada orang menjawab : “kita hancur
karena kita berada pada satu sistim jahiliyah. Kita hancur karena ada thagut
yang berkuasa.” Tetapi, sistem jahiliyah dan thagut itu adalah dua hal
yang abstrak. Sehingga jika jawabannya seperti itu, lalu apa yang bisa
kita lakukan? Kita harus mengubah sistem! Tetapi, “siapa” system itu? Sistem
yang abstrak itu kita pandang sebagai sesuatu yang konkret.
Dalam istilah logika, kesalahan seperti di atas
itu disebut reification. Yaitu, menganggap real sesuatu yang
sebetulnya hanya berada dalam pikiran kita.
5. Argumentum ad Verecundiam
Berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun
otoritas itu tidak relevan atau ambigu. Kata-kata di atas memang abstrak semua:
otoritas;relevan; dan ambigu. Otoritas itu sesuatu atau seseorang yang sudah
diterima kebenarannya secara mutlak, seperti Al-Qur’an dan Rasulullah
Saw.
Ada orang yang menggunakan otoritas untuk membela
paham dan kepentingannya sendiri. Dengan mengutip suatu peristiwa dalam sirah
(perjalanan) Nabi, dia bermaksud membenarkan paham dan kepentingannya
sendiri. Padahal, peristiwa yang dikutipnya itu belum tentu relevan
dengan maslah atau tema yang sedang dibincangkan.
6. Fallacy of Composition
Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa terapi
yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua orang.
Sebagai contoh, di suatu kampung ada yang
memelihara ayam. Ayam petelur negeri itu berhasil mendatangkan uang banyak bagi
pemiliknya. Melihat itu, dengan serta-merta penduduk kampung menjual sawahnya
untuk dijadikan modal bisnis ayam petelur. Akibatnya, semua penduduk kampung
itu bangkrut lantaran merosotnya permintaan dan membanjirnya pasokan barang...